Kode Etik Bimbingan dan Konseling
A.
Pengertian Kode Etik
Etika
adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang
tindakan yang dianut berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok,
atau budaya tertentu.
Kode etik adalah
seperangakat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang mengatur mengarahkan
pembuatan Atau tindakan dalam suatu peruahaan, profesi, atau organisasi bagi
para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau anggota
dengan masyarakat.
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang
dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesional Bimbingan dan
Konseling Indonesia.
B.
Dasar Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
1. Pancasila, mengingat profesi bimbingan dan konseling merupakan
usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga
negara Indonesia yang bertanggung jawab.
2. Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien
sesuai denagn norma-norma yang berlaku.
C.
Kode
Etik Bimbingan dan Konseling
Kode etik bimbingan dan
konseling adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus
ditaati oleh siapa saja yang ingin berkicimpung dalam bidang bimbingan dan
konseling demi untuk kebaikan. Kode etik dalam satu jabatan bukan merupakan hal
yang baru. Tiap-tiap jabatan pada umumnya mempunyai kode etik sendiri-sendiri,
sekalipun tetap ada kemungkinan bahwa kode etik itu tidak secara formal
diadakan.
Kode etik dalam
bimbingan dan konseling dimaksudkan agar bimbingan dan konseling tetap dalam
keadaan baik, serta diharapkan akan menjadi semakin baik, lebih-lebih di
Indonesia dimana bimbingan dan konseling masih relatif baru. Kode etik ini
mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar atau diabaikan tanpa
membawa kaibat yang menyenangkan.
Menurut Walgito
(2010:37) ada beberapa kode etik bimbingan dan konseling tersebut, antara lain:
1. Pembimbing atau pejabat lain yang memegang jabatan dalam bidang bimbingan
dan konseling harus memegah teguh prinsip bimbingan dan konseling.
2. Pembimbing harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mencapai hasil
yang baik-baiknya, dengan membatasi diri pada keahliannya atau wewenangnya.
Oleh karena itu, pembimbing jangan sampai mencampuri wewenang dan tanggungjawab
yang bukan wewenang atau tanggung jawabnya.
3. Karena pekerjaan pembimbing berhubungan langsung dengan kehidupan pribadi
orang maka seorang pembing harus:
a) Dapat memegang atau menyimpan rahasia klien dengan sebaik-baiknya.
b) Menunjukkan sikap hormat pada klien.
c) Menghargai bermacam-macam klien. Jadi, dalam menghadapi klien, pembimbing
harus menghadapi klien dalam derajat yang sama.
4. Pembimbing tidak diperkenankan:
a) Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih.
b) Menggunakan alat-alat yang kurang dapat dipertanggung jawabkan.
c) Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang
tidak baik bagi klien.
d) Mengalihkan klien kepada konselor
lain tanpa persetujuan klien.
5. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain diluar kemampuan dan
keahliannya atau di luar keahlian staffnya yang diperlukan dalam bimbingan dan
konseling.
6. Pembimbing harus selalu menyadari tanggungjawabnya yang berat, yang
memerlukan pengabdian sepenuhnya.
D.
Tujuan Kode etik
1. Panduan perilaku berkarakter dan profesional bagi anggota organisasi dalam
memberikan pelayanan BK.
2. Membantu anggota organisasi dalam membangun kegiatan pelayanan yang
profesional.
3. Mendukung misi organisasi profesi, yaitu ABKIN.
4. Landasan dan arah menghadapi permasalahan dari dan mengenai diri anggota
asosiasi.
5. Melindungi anggota asosiasi dan sasaran layanan (konseli)
6. Etika organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan
bagi anggota organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan
BK kepada konseli.
7. Wajib dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota
organisasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
8. Etika organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan
bagi anggota organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan
BK kepada konseli.
9. Wajib dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota
organisasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
E.
Perlunya Kode Etik Profesi
Munro dalam Peter W.F.Davies (1997:97-106), menegaskan,
sekurang-kurangnya terdapat empat manfaat kode etik profesi:
1.
Kode etik profesi dapat
meningkatkan kredibilitas korporasi atau perusahaan. Adanya kode etik profesi,
secara internal mengikat semua pihak dengan norma-norma moral yang sama
sehingga akan mempermudah pimpinan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang
sama untuk kasus-kasus sejenis.
2.
Kode etik profesi
menyediakan kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri, bagi sebuah korporasi
dan bisnis-bisnis pada umumnya. Pada aras ini, kode etik profesi dapat
mendewasakan sebuah korporasi dalam arti kode etik profesi dapat membantu semua
yang terlibat secara internal dalm korporasi itu untuk meminimalisir
ketimpangan-ketimpangan yang biasanya terjadi pada masa sebelum ada kode etik
profesi. Pada tataran kongret, hadirnya kode etik profesi dapat meminimalisir
campur tangan pemerintah khususnya dalam ikatannnya dengan kasus-kasus
ketenagakerjaan dan prosedur perdagangan.
3.
Kode etik profesi dapat
menjadi alat atau sarana untuk menilai dan mengapresiasi tanggung jawab sosial
perusahaan. Dari segi efisiensi, rumusan dalam kode etik profesi mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan hendaknya tidak terlalu umum. Sebaliknya,
harus disertai dengan keterangan yang cukup agar menghindarkan korporasi atau
perusahaan dari kecenderungan untuk melaksankan tanggung jawab sosial hanya
pada tataran minimal.
4.
Kode etik profesi
merupakan alat yang ampuh untuk menghilangkan hal-hal yang belum jelas
menyangkut norma-norma moral, khususnya ketika terjadi konflik nilai
Kode etik profesi diperlukan agar anggota
profesi atau konselor dapat tetap menjaga standar mutu dan status profesinya
dalam batas-batas yang jelas dengan anggota profesi dan profesi-profesi
lainnya, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan tugas
oleh mereka yang tidak langsung terjun dalam bidang bimbingan dan konseling.
Kode etik konselor ini diperuntukkan bagi para pembimbing atau konselor yang
memberikan layanan bimbingan dan konseling ,dengan pengertian bahwa layanan
bimbingan konseling dapat dibedakan dari bentuk-bentuk layanan profesional
lainnya, karena sifat-sifat khas dari layanan profesional bimbingan dan
konseling. Profesional lain, yang bukan konselor, mungkin dapat mengambil ilham
dari keyakinan-keyakinan yang menjiwai kode etik ini.
F.
Hubunga
Kelembagaan
1. Prinsip
Umum
a) Prinsip-prinsip
yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta
penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor
dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
b) Apabila
konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian
dan kesepakatan yang jelas antara konselor dan pihak lembaga dan dengan klien
yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan,
konselor harus tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas
dasar komersial.
2.
Keterkaitan Kelembagaan
a) Setiap
konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya,
terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang
dipercayakan kepadanya.
b) Peraturan-peraturan
kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga haru dianggap
mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor
haru mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya ia berhak
pula mendapat perlindungan dari lembga itu dalam menjalankan profesinya.
c) Setiap
konselor yang menjadi anggota staf suatu lembaga berorientasi kepada
kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus
dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu
d) jika
dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan
ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga
tersebut, maka ia wajib mengundurkan diri dari lembaga tersebut.
G.
Praktik
Mandiri dan Laporan Kepada Pihak Lain
1. Konselor
Praktik mandiri (Privat)
a. Konselor
yang berpraktik mandiri ( privat ) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan
tertentu, tetap menaati segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan
berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan diri dari rekan-rekan
seprofesi.
b. Konselor
yang berpraktik mandiri wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari organisasi
profesi ( ABKIN ).
2. Laporan
Kepada Pihak Sekolah Apabila konselor perlu melaporkan suatu hal tentang klien
kepada pihak lain ( misalnya : pimpinan lembaga tempat ia bekerja ) ,atau kalau
ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan diluar profesinya
dan ia harus juga memberikan informasi itu ia harus sebijaksana mungkin dengan
berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan
tidak dirugikan.
H.
Ketaatan
Profesi
1.
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
a. Dalam
pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai konselor, konselor harus selalu
mengaitkannya dengan tugas dan kewajibannya terhadap klien dan profesi
sebagaimana dicantumkan dalam kode etik ini dan semuanya itu sebesar-besarnya
untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
b. Konselor
tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud untuk
mencari keuntungan pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan klien
ataupun menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang tidak wajar.
2.
Pelanggaran kode etik
a. Konselor
harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik
ini.
b. Konselor
harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan
merugikan mutu proses dan hasil layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga
dan pihak-pihak lain yang terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan
profesinya. 3. Pelanggaran terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.
I.
Fenomena
Pelaksanaan Kode Etik Profesi Konselor di Lapangan
Kode etik konselor Indonesia merupakan landasan
moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan
diamankan oleh setiap anggota profesi bimbingan dan konseling Indonesia. Kode
etik konselor diperlukan untuk melindungi anggota profesi sendiri dan
kepentingan publik.Sebagai penjamin mutu layanan yang diberikan oleh konselor,
kode etik berperan sebagai pedoman tingkah laku konselor dalam menjalankan
aktifitas profesionalnya dan setiap konselor harus melaksanakan kode etik
profesi dengan sebaik-baiknya. Beberapa fenomena di lapangan yang diberitakan
dalam media cetak dan fenomena selama mengikuti kegiatan PPL II ketika menempuh
S1 Bimbingan Konseling, di salah satu sekolah di kota Malang mengindikasikan
masih adanya penyimpangan kode etik yang dilakukan konselor.
Secara umum tujuan diadakannya bimbingan dan
konseling yaitu untuk membantu peserta didik atau siswa dalam memahami diri dan
lingkungan, mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
mengembangkan potensi dan kemandirian diri secara optimal pada setiap tahap
perkembangannya. Artinya dalam malaksanakannya guru pembimbing dituntut untuk
dekat, akrab dan bersahabat dengan segala pola tingkah laku dan kepribadian
siswa dalam batasan tertentu sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah yang
dihadapi siswa.
Namun kenyataannya yang terjadi di lapangan
cenderung berbeda dengan tujuan umum diatas. Yang terjadi adalah jarak pemisah
yang cukup jauh antara guru BK dan siswa. Siswa merasa enggan untuk secara suka
rela mendatangi konselor dalam mengatasi masalahnya. Berikut ini adalah
beberapa fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan BK di sekolah :
1.
Guru BK sebagai polisi sekolah Pada beberapa
sekolah, guru BK adalah sosok yang “ditakuti”. Hal ini wajar karena dalam
“mendisiplinkan” siswa. terkadang dilakukan dengan interogasi, razia, dan
punishment (hukuman). Sehingga jika ditanyakan kepada siswa mengenai guru BK,
banyak siswa yang merasa benci, tidak bersahabat dan cenderung memilih lebih
baik menghindar saat bertemu guru BK, terutama saat mereka sedang dalam posisi melakukan
kesalahan.
2.
Pelaksanaannya masih menggunakan pola tidak
jelas. Yang dimaksud dengan pola tidak jelas disini adalah tidak adanya aturan
baku atau pola-pola tertentu yang ditetapkan sebagai acuan dalam menyelesaikan
masalah. Dalam penerapannya guru cenderung melakukan cara-cara yang “kasar” dan
justru tidak mendidik. Misalnya ketika seorang siswa ketahuan merokok, siswa
tersebut malah disuruh menghisap sepuluh batang rokok sekaligus. Hal ini
tidaklah tepat. Memang tindakan ini akan dapat memberikan efek jera, namun
disisi lain menghisap rokok dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang bersaan,
justru akan membahayakan kesehatan siswa.
3.
Pendekatan yang dilakukan pada siswa bermasalah
/ klien masih menggunakan pendekatan klinik – klasik. Dalam hal ini fokus
penanganan BK dilakukan hanya kepada siswa yang berkeadaan dan mengalami
hal-hal negatif, seperti nakal, membolos, malas membuat PR, dan lain
sebagainya. Hubungan antara siswa dan guru pembimbing pun adalah sebagai atasan
dan bawahan. Sehingga terdapat jarak yang sangat jauh antara keduanya.
Fenomena diatas jauh sekali dengan harapan
bimbingan konseling sebagai profesi yang professional. Masih adanya praktek
bimbingan konseling yang tidak sesuai dengan tujuan dan kode etik bimibingan
konseling yang sudah di rumuskan oleh ABKIN. Namun hal ini tidak bisa kita
generalisasi atau berfikir secara umum jika kode etik bimbingan konseling tidak
berjalan dengan sebagaimana mestinya, karena Puspitasari(2010) dalam
penelitiannya tentang pelaksanaan kode etik konselor SMA/SMK se kota Malang
menunjukkan bahwa 1) 55% konselor berada pada taraf tinggi, 45% konselor berada
pada taraf cukup, 0% konselor berada pada taraf rendah dalam pelaksanaan kode
etik, 2) Pada aspek kualifikasi dan kegiatan profesional konselor 42,5% konselor
berada pada taraf tinggi, 57,5% cukup, dan 0% rendah, 3) pada aspek hubungan
kelembagaan dan laporan kepada pihak lain 20% konselor berada pada taraf
tinggi, 80% cukup, dan 0% rendah, 4) pada aspek ketaatan kepada profesi 95%
konselor berada pada taraf tinggi, 5% cukup, dan 0% rendah.
Jika kita menelaah hasil penelitian diatas,
maka bisa kita simpulkan bahwa pelaksanaan kode etik konselor di SMA/SMK se
kota malang sebenarnya cukup tinggi. Untuk praktek professional konselor yang
masing kurang dri harapan kita ada beberapa saran yang bisa dipertimbangkan
yaitu:
Ada dua prinsip yang harus dijalankan dalam
pelaksanaan konseling. Yaitu KTPS (Klien Tidak Pernah Salah) dan KTPM (Konselor
Tidak Pernah Memihak).
1.
KTPS (Klien Tidak Pernah Salah) Posisi klien dalam
konseling di sekolah seringkali dikonotasikan negatif. Artinya setiap siswa
yang masuk ke ruang BK (siswa yang diberikan bimbingan dan konseling), maka
akan diartikan sebagai anak yang bermasalah. Bahwa siswa yang bersangkutan
adalah memiliki kesalahan, itu memang benar, tetapi dalam hal ini konselor
tidak boleh memposisikan siswa / klien sebagai seorang sakit (bersalah).
Kesalahan tersebut mungkin saja terjadi dikarenakan ketidak tahuan siswa bahwa
pada saat ini dia dalam kondisi bersalah. Misalnya dalam sebuah kasus, siswa
membawa perhiasan berharga di sekolah. Jika dilihat dari kepemilikan barang
tersebut, siswa tidaklah salah. Karena perhiasan tersbut adalah miliknya, yang
didapat dengan hasil uang miliknya juga, maka siswa merasa berhak menggunakannya.
Namun disisi lain ada peraturan sekolah yang melarang. Pihak sekolah
mengkhawatirkan, jika siswa menggunakan perhiasan berharga, maka bisa jadi
keselamatannya dapat terancam, selain itu perhiasan itu akan mengakibatkan
kecemburuan sosial tehadap siswa lainnya. Dalam hal ini posisi konselor adalah
mengarahkan siswa kepada pemahaman bahwa peraturan sekolah dilaksanakan
semata-mata untuk kepentingan siswa yang bersangkutan.
2.
KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak) Seorang
konselor tidak boleh memihak kepada salah seorang klien atau kelompok tertentu
dalam menangani maslah. Meskipun kelompok atau klien yang bersangkutan benar.
Karena keberpihakan tersebut akan menimbulkan penyalahan kepada pihak /
kelompok yang lain. Dan itu tentu saja bertentangan dengan prinsip KTPS.
Posisi konselor adalah penengah, menawarkan
solusi, memberikan pemahaman, yang keputusan akhirnya diberikan kepada
keduabelah pihak. Mau tetap mempertahankan argumennya, atau memilih solusi yang
ditawarkan konselor.
Misalnya seorang siswa mempunyai masalah dengan
teman sebangkunya. Dimana temannya itu selalu menjelek-jelekkan dirinya kepada
teman lainnya.
Konselor tidak dapat memihak ataupun
menyalahkan satu diantara keduanya. Yang dapat dilakukan adalah memberikan
pengertian kepada keduanya bahwa kerukunan disekolah sangat penting. Memberikan
pemahaman bagaimana sebaiknya bertingkah laku terhadap orang lain. Saling
menghormati, dan menghargai. Membimbing bagaimana memecahkan masalah tanpa
harus menyakiti. Konselor dapat juga memberikan contoh akibat yang ditimbulkan
jika tidak ada toleransi dan saling menghargai antar sesama. Dan lain
sebagainya.
Secara singkat ada 3 hal yang ditanamkan kepada
siswa dalam menyelesaikan masalah :
a.
Menyadari kesalahan
b.
Menganalisa masalah
c.
Meminta maaf
Dengan demikian siswa diharapkan dapat menilai
sendiri apakah perbuatannya baik atau buruk. Keputusan diberikan sepenuhnya
kepada siswa yang bersangkutan
reference nya ada nggk bang kak?
BalasHapusCasino-Casino-Risk-Free Cash, Promo Codes - Mapyro
BalasHapusVisit Mapyro Casino-Risk-Free Cash, 여주 출장안마 Promo Codes, Coupons, 공주 출장마사지 Promotions 서산 출장마사지 and 계룡 출장마사지 more 안양 출장안마 from Mapyro.